Aku teringat dalam bayangan 28 tahun yang lalu ketika aku dan ibu di deportasi di negara yang tak pernah ku tahu sebelumnya. Setelah merdeka aku dan ibu ikut dengan ayah pindah ke Jogyakarta. Alih-alih ingin hidup damai setelah bangsa Indonesia resmi merdeka, namun jalan Tuhan berkata lain. Setelah 8 bulan hidup di Jogyakarta ternyata masih ada kompeni yang usil menguasai daerah tempat tinggalku. Ayahku seorang petani dan Ibuku hanya seorang pedagang singkong hasil panen ayah, mereka harus rela menyerahkan hasil panen kepada kompeni setiap bulannya.
Tak tahan dengan sikap kompeni, akhirnya warga berunding memikirkan cara untuk mengusir kompeni. Malam itu hujan deras sekali, sekitar pukul 10 malam ada seseorang yang mengetuk pintu rumah kencang sekali. "Pak Raden...pak...tolong saya pak," jerit suara wanita paruh baya. Kami sekeluarga pun keluar melihat siapa yang berteriak-teriak memanggil nama ayah.
"Ada apa?"tanya ayah.
"Tolong pak, para kompeni membakar ladang saya. Semua habis tak tersisa, bahkan rumah saya pun habis di bakar."seru wanita yang pakaiannya basah kuyup.
"Kapan?"tanya ayah sambil mengepal tangan.
"Tadi sore pak. Setelah Pak Raden pulang. Mereka datang lalu membakar semuanya," seru wanita.
"Masya Allah kenapa mereka setega itu pada kita?" seru ibu sambil menggendongku.
Setelah wanita tua itu menceritakan kronologi, ayah langsung mengambil bambu runcing dan bergegas pergi. Aku dan ibu tinggal di rumah, berdoa dan berharap tidak terjadi apa-apa. Lama kami menunggu, aku melihat ibu sedang khusyu berdoa dan menangis. Samar-samar ku dengar doa ibu "Ya Allah lindungilah suamiku dari kebiadaban para kompeni. Berikanlah kekuatan bagi mereka yang sedang melawan kompeni....". Aku hanya terdiam berharap ibu mau memelukku erat. Ketika itu siaku masih 6 tahun dan belum mengerti tentang permasalahan yang terjadi. Tak lama kemudian, tiba-tiba pintu rumahku didobrak oleh segerombolan orang bersenapan dan ku lihat ayah bersama mereka.
"Jadi ini you punya keluarga?Cantik juga istrimu."seru kompeni yang bernama Van Der Ben.
"Jangan sentuh keluargaku," teriak ayah.
Aku dipeluk ibu erat dan ibu menutup mataku dengan tangannya. Ada perkelahian antara ayah dengan Van Der Ben. Ibu hanya berteriak minta tolong, tapi teriakan ibu seakan tak ada artinya karena tak satu pun orang yang berani menolong.
"Jadi you masih punya nyali?" serahkan semuanya padaku dan kau bebas,"seru Van Der Ben sambil melirik ibuku.
Ayahku meludahi kompeni busuk itu dan terdengar suara senapan keras sekali. Aku hanya mendengar ibu berteriak "Jangan..." dan suara senapan itu terdengar berkali-kali. Akhirnya, ibu jatuh dan aku bisa melihat kejadian yang terjadi. Ayahku mengeluarkan darah dari kepala, dada, dan kakinya banyak sekali. Aku ingin mendekati ayah, tapi salah satu anak buah Van Der Ben menghalangiku.
"Ini akibat dari perlawanan rakyat kecil seperti kalian," teriak Van Der Ben sambil tertawa.
"Ayah........"teriakku dan air matapun tak kuasa ku bendung.
Aku tersadar kini aku hidup bersama dengan para kompeni, tetapi mereka tidak sejahat Van Der Ben ataupun teman sekolahku dulu. Mereka semua adalah anak buahku yang bekerja di pertambangan batu bara milikku. Kini aku hidup bersama wanita cantik nomer dua setelah ibu. Aku sedang mencoba mencari tenaga medis yang ahli untuk menyembuhkan kebutaan ibuku.Kemudian aku kembali termenung sambil memegang cerutu.
Aku ingat setelah kejadian malam itu, aku dan ibu dibawa Van Der Ben kenegaranya di Belanda. Ibuku menjadi istri simpanan Van Der Ben. Setiap harinya ibu hanrus melayani Van Der Ben dan tak jarang pula ibuku disiksa olehnya. Sedangkan aku, anak laki-laki berumur 7 tahun setiap harinya harus memerah susu sapi dan menjualnya ke kota dengan menggunakan sepeda. Awalnya aku tidak mengerti bahasa dari semua orang berhidung mancung ini. Namun ada remaja wanita yang berbaik hati mengajariku bahasa belanda. Yaa dia, Ellen, wanita berkebangsaan Belgia-Belanda yang prihatin melihat keadaan ibu dan aku. Awalnya aku takut dan kami tidak bisa berkomunikasi. Akhirnya dengan sabar, Ellen memulai komunikasi dengannku dengan bahasa isyarat.
Bulan demi bulan aku lalui di negara Belanda dengan keadaan sedih. Aku teringat ayah yang sejak ditembak oleh Van Der Ben tidak diurus jasadnya oleh aku dan ibu. Bukan karena kami jijik oleh darah, melainkan karena aku dan ibu dibawa paksa oleh anak buah Van Der Ben setelah itu. Aku pun masih teringat ketika ayah memarahiku jika aku masih saja ingin dimanja oleh ibu. "Turunlah kau nak dari pangkuan ibumu. Kau anak laki-laki kelak kau harus bisa hidup sendiri" pesan ayah yang masih kuingat hingga aku menapakan langkah di negeri kincir angin ini. Aku ingin sekolah, tapi aku tidak bisa membaca sekadar untuk komunikasipun aku masih terbata-bata.
Mungkin ini pertolongan Tuhan, Ellen lagi-lagi aku berhutang budi padanya. Ia dengan senang hati mengajariku membaca tulisan Belanda dan Inggris. Karena Ellen adalah darah campuran, jadi ia bisa menggunakan dua bahasa sekaligus, yaitu Inggris dan Belanda. Aku tak sengaja masuk ke sekolah Ellen, berharap bertemu Ellen dan memberinya makan siang buatan ibuku. Pelan-pelan aku masuk ke dalam sekolah bertingkat itu, memanjat pagar belakang sekolah dan kemudian aku menemukan Ellen sedang duduk sendiri di bawah pohon sambil makan Sandwich kesukaannya."
"Ellen, It's me Furqon." teriakku pelan
Kemudian Ellen menghampiriku yang sedang bersembunyi di balik tong sampah.
"What are you doing here?"
Kemudian aku menjelaskan kedatanganku dan memberikan Ellen makan siang buatan ibu.
""Thank you. Cepat pergi dari sini." seru Ellen.
Aku pun bergegas lari. Tapi langkahku terhenti ketika melihat peta dunia yang di tempel di dinding sekolah. Ingin sekali aku melihatnya. Keesokan harinya aku bertanya kepada Ellen tentang keberadaan peta itu dan aku ingin sekali melihatnya dengan jarak pandang yang sangat dekat.
Keesokan harinya, aku kembali masuk kesekolah Ellen dan Ellen berhasil mengabulkan permintaanku.
"Kenapa kamu ingin melihat peta ini?" tanya Ellen
Kemudian aku meraba bentuk pulau yang bertuliskan INDONESIA.
"Indonesia? What's wrong with Indonesia?" tanya Ellen
Aku menahan air mata berharap aku tak menangis dihadapan perempuan cantik ini.
"Aku akan menceritakan semuanya kepadamu. Setelah pulang sekolah temui aku di ladang."
Kemudian aku berlari keluar sekolah.
Aku kembali menggambar bentuk pulau Indonesia di tanah yang agak becek dan aku menanyakan kepada ibu letak rumahku dulu bersama ayah. Ibuku jadi seorang pemerah sapi juga, karena Van Der Ben tidak lagi memberi ibu nafkah jadi ibu sibuk bekerja siang malam untuk mencukupi kehidupan kami. Tak jarang ibu dimarahi, dicaci, dan dihina oleh warga karena kerjaan ibu yang tidak bagus. Padahal ibuku pernah bercerita kepadaku bahwa ia tidak mengerti dengan apa yang mereka suruh karena ibu tak terlalu paham bahasa belanda. Ibu hanya sedikit mengerti dan biasanya beliau menyuruhku untuk menerjemahkannya ke bahasa indonesia.
Ellen pun datang dengan membawa Sandwich yang ia beli di jalan. Ellen mulai bertanya ada apa dengan Indonesia. Kemudian aku menjelaskan bahwa Indonesia adalah tanah airku. Tanah kelahiranku, tanah dimana aku bisa merasakan keramahan penduduk desa. Tanah dimana aku bisa melihat hamparan padi membentang luas dan tanah dimana aku hidup bersama ayah. Setelah ku jelaskan tentang Indonesia dan mengapa sampai aku berada di sini, Ellen ku lihat matanya yang biru mulai berkaca-kaca dan kemudian memelukku. Aku pun memeluknya erat, ibu hanya memandangi kami dari kejauhan.
Sekarang umurku genap 10 tahun, bahasa Belanda dan Inggrisku semakin lancar. Aku sudah bisa membaca, ibu kini sudah sakit-sakitan. Mungkin terlalu lelah mencari uang. Sekarang kami tinggal di ladang karena rumah yang kami tempati sudah dijual oleh Van Der Ben, dan sekarang pria itu sudah menikah dengan orang lain. Aku diberukan rumah di tengah ladang dan ada kincir angin kecil di samping rumah. Ellen semakin dewasa dan pintar. Seminggu tiga kali ia selalu mampir ke rumah untuk sekadar menyapa atau membantuku memerah sapi. Dan aku masih suka sembunyi-sembunyi masuk ke sekolah Ellen untuk mengantarkan makan siang untuknya.
Hingga suatu hari, ketikaku ingat bahwa hari ini adalahtanggal 17 Agustus. Aku memberi tahu ibu tentang apa yang terjadi dihari itu. Memoriku seakan diingat pada angka satu dan tujuh itu, ibu kemudian menceritakan semuanya. Ibu kini sudah mahir berbahasa belanda malah beberapa kosa kata bahasa indonesia ia sudah lupa. Ibu memberitahu bahwa setiap tanggal 17 Agustus selalu ada bendera di depan rumah. Aku mencoba membuat bendera merah putih dari kain bekas yang ku minta kepada tukang jahit di kota. Ibu menjahitkan bendera pertama selama aku berada di negeri orang.
"Kau sudah besar nak, sudah pantas kau berjuang untuk negeri Indonesia,"seru ibu.
"Bagaimana caranya bu?"tanyaku.
"Belajarlah nak, tunjukkan bahwa kau adalah anak laki-laki yang pandai. Kelak kau akan kembali ke Indonesia. Melihat betapa besarnya negara kita. Mungkin juga bisa melihat makam ayahmu."seru ibu
Aku kemudian memeluk ibu dan berharap apa yang ia ucapkan menjadi sebuah kenyataan karena aku memang ingin sekali bersekolah. Tapi karena keadaan ekonomi dan aku bukanlah warga belanda mereka melarangku untuk sekolah.
"Kelak jika kau tumbuh menjadi orang besar, ketahuilah bahwa kau berasalah dari bangsa yang besar pula. Ibu hanya bisa mendoakan semoga apa yang kau inginkan tercapai"seru ibu sambil menangis.
"Doakan aku bu. Aku akan bawa Ibu dan Ellen kembali ke Indonesia, melihat hamparan terbentangnya hamparan sawah dan para petani yang ramah membajak sawah." seruku dengan bersemangat.
|
Petani ramah sedang membajak sawah |
|
Hamparan sawah terbentang |
to be continue ^^